berasal dari daerah Pariaman

Pernah mendengar ulu ambek? Jika belum, tulisan ini akan mengajak berkenalan dengan tradisi dari Pariaman ini. Jika sudah pernah mendengar, barangkali tulisan ini dapat memberi beberapa informasi yang belum kamu tahu.

Ulu ambek tergolong silat/ tradisi. Meski begitu, ulu ambek tidak seperti silat konvensional atau pertunjukan umumnya: para pesilatnya bertarung tanpa kontak fisik sama sekali alias bersilat secara batiniah. Masing-masing petarung menyerang dan bertahan dari jarak jauh. Sekilas, pertunjukan yang dimainkan oleh dua laki-laki ini terlihat seperti pantomin. Tapi sebagaimana diyakini oleh para pemain ulu ambek, apa yang mereka pertunjukkan ialah salah satu laku ilmu silat dalam level yang paling tinggi.

Ulu ambek kental dengan nuansa sakral. Saking sakralnya, pertunjukan ulu ambek harus dilakukan dalam suasana yang hening, bebas dari kebisingan serta gangguan lainnya. Selama hari-hari pertunjukan berlangsung masyarakat yang melintas di sekitar laga-laga mesti mematikan mesin motornya, misalnya. Para pedagang di sekitar lokasi, juga harus mentaati berbagai peraturan yang telah ditetapkan penyelenggara.

Sebelum bertarung di laga-laga, kedua petarung yang diwakili oleh kapalo mudo (pempimpin muda) haruslah meminta restu dari pada tetua (ninik mamak) dalam suatu ritual yang disebut pasambahan. Dalam proses tersebut para petarung akan manyalang (meminjam) ulu ambek dari para tetua yang juga menyandang status pangulu (penghulu). Hal ini dilakukan karena ulu ambek dianggap sebagai suntiang atau permainan milik para pangulu.

Selain harus ‘meminjam' ulu ambek dari para pangulu, kedua petarung juga harus meminta restu pada gurunya, ninik mamak, saudara seperguruan, janang (semacam wasit), serta anggota kelompoknya masing-masing. Proses yang disebut basalam ini dilakukan oleh petarung secara khusyuk. Mereka menyalami orang-orang tersebut seolah-olah dirinya akan pergi ke tempat jauh dalam waktu yang sangat lama dan belum tentu akan kembali.

Di luar kedua hal di atas, ulu ambek juga tidak dapat digelar tanpa janang. Dua orang janang yang bertugas sebagai semacam wasit ini haruslah tegas dan adil. Sebelum memimpin pertarungan, mereka disumpah terlebih dahulu di bawah sumpah sati (sumpah sakti). Seandainya melanggar sumpah sati maka mereka akan menerima kutukan, jika bersawah, maka padinya akan hampa; jika berternak, maka ternaknya akan kurus; jika istrinya beranak, maka anaknya akan terlahir cacat.

Pertarungan berlangsung di bawah pengawasan pangulu masing-masing dan diwasiti oleh janang. Kedua petarung saling serang dari kejauhan. Kalah memang tidak ditentukan dari luka-luka fisik, melainkan luka batin. Yang kalah tidak akan menderita muka bonyok atau tulang patah, akan tetapi kena buluih. Buluih ini adalah semacam rasa malu yang tidak tertanggungkan. Seorang petarung yang sudah kena buluih bisa menderita trauma, takut melihat laga-laga dan menggigil jika mendengar alunan dampeang—dendang yang dilantunkan sebelum dimulainya pertarungan.

Pada masa lalu ulu ambek diyakini sebagai sarana menyelesaikan konflik antarkaum atau konflik antarnagari. Lewat ulu ambek pihak-pihak yang bersengketa tidak perlu mengangkat dan mengobarkan peperangan yang akan menimbulkan banyak korban serta kerugian yang besar bagi kedua belah pihak.

Sampai saat ini ulu ambek masih hidup di beberapa wilayah di Kabupaten Pariaman. Kecuali untuk kepentingan akademik, ulu ambek masih terlarang untuk dimainkan perempuan. (*)

sumber : Randi Reimena https://padang.harianhaluan.com/indepth-feature/pr-1061495157/mengenal-ulu-ambek-silat-batin-dari-ranah-minang?page=all

Related posts