Sedangkan demi keawetan Adat itu dan keharmonisannya sehingga dapat memberikan kesegaran baru, sebagai sesuatu yang terakumulasi dalam jiwa raga seorang anak kemenakan minangkabau, maka adat mengharuskan untuk bacamin ka telapak tangan, bertindak melakukan introspeksi diri tidak saja ke dalam hati, tetapi adat mengisyaratkan untuk bercermin ke telapak tangan sendiri, sesuai dengan situasi dan kondisi yang merusak kualitasnya akibat tindak laku dan perbuatan jari jemari itu sendiri, supaya :
Miang dikikih, baabu dijantiek
kuma basasah, gabuak dihampeh
salah basapo, batuka asak
Caliek contoh ka nan sudah
ambiek tuah ka nan manang.
Kenapa ?
Karena gerak telapak tangan dan jari jemari yang indah itu hanya ada dalam dunia Tari dan Pencak, tetapi Ilmu tentang telapak tangan dan jari jemari yang bergerak itu tersimpan dalam misteri dunia Silat Minangkabau itu sendiri. Wallahu ‘Alam.
Karena saling hubung berhubungan, kait berkaitnya satu gejala dengan gejal lainnya, berbagai fenomena buektan dari struktur bangunan pemikiran Alam Minangkabau yang kita warisi, tentulah tidak dapat dilepaskan dari inti ajaran falsafah, undang, hukum dan adat Minangkabau yang berlaku, lahir, tumbuh hidup dan berkembang dalam wilayah nagari-nagarinya masing-masing, dengan berbagai corak dan gaya pelaksanaannya yang bervariasi. Orang Minangkabau menyebut corak dan gaya pelaksanaan yang bervariasi ini dengan langgam adat nagari, sanagari.
pencak silat Minangkabau yang kita terima akhirnya dirumuskan sebagai warisan sako nan bajawek pusako nan batolong bersama filosofi adatnya, adalah sesuatu yang karakterisitik insani, etis, estetis dan dinamis. Dengan demikian generasi pendukung kebudayaan Minangkabau di era zaman ini dapat menyadari bahwa bahwa Pencak Silat minang kabau yang populer dengan sebutan silek Minang itu, bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
Untuk itulah penulis mencoba menelusuri liku-liku kemisteriannya dan memperkenalkan kepada para pembaca, sebagian kecil dari dasar-dasar khazanah perbendaharan corak dan gaya pelaksanaan silek minang secara tradisi. Lebih dari itu, penulis hanya bisa menganjurkan untuk mendatangi dan menyelami kedalaman lautan ilmu para guru-guru tuo-tuo tapian, tuo-tuo silek Minang serta para tungganai sasaran Silat di berbagai nagari se-alam Minangkabau, khususnya di daerah Provinsi sumatera barat ini. Dan para tetua tersebut masih banyak, terpendam bagaikan mutiara dalam lumpur di korong kampungnya masing-masing, seperti juga tenggelamnya berbagai nilai-nilai tradisi, akibat robek-robeknya pakaian dan hiasan nagari yang dianggap sebagai format budaya kehidupan lama, sementara format baru tak kunjung selesai.
Bahkan tanpa disadari pakaian nagari yang compang-camping itu, telah berganti dengan pakaian kehidupan amburadul yang lebih purba, dalam bentuk penyelesaian konflik secara purba pula, berupa adu fisik, tawuran, cakak banyak, premanisme, brandalan, main keroyok, cakar-cakaran, adu fisik, sok kuasa, sok hebat, sok pintar, sok berani yang bisa-bisa akhirnya melahirkan generasi penerus bangsa yang angkuh dan sombong dalam kemungkarannya.
Bahkan banyak kelompok orang yang telah mulai memperlihatkan gejala-gejala zaman perburuan kuno, saling memperebutkan hasil buruan mereka tanpa peduli kepada yang lain, kalau perlu saling terkam dengan cakar-cakar dan taring-taring kekuasaannya. Itulah gaya dan corak pelaksanaan kemajuan, katanya dalam tanda kutip. Bedanya, hutan rimba sekarang lebih canggih dan maju, mewujud dalam bentuk kota-kota dengan pohon-pohon bangunannya yang kekar, kering dan kerontang, sementara hutan rimba tradisi adalah pohon-pohon kayu rindang yang berdaun-daun kesuburan. Di sela-selanya mengalir mata-mata air yang menganak sungai, jernih dan segar, masuk ke dalam negeri memebersihkan dan mensucikan diri anak nagari.
Berdasarkan gejala-gejala yang demikian, barangkali ada baiknya kita harapkan para pemuka-pemuka nagari, ninik mamak penghulu adat, cadiek pandai, serta generasi mudanya untuk kembali mengaktifkan, membangun dan membina sasaran-sasaran tradisi yang bukannya tidak ada, tetapi dapat dipastikan sudah berjalan turun temurun, baik secara terang-terangan maupun yang masih tersembunyi.
Menata dan mengaturnya sesuai dengan formatnya yang baru dalam aturan-aturan yang terorganisir secara apik dan utuh, dan mengembangkannya sesuai dengan kekiniannya. Bukan untuk saling menyaingi kelebihan Silat yang satu dengan Silat lainnya. Tetapi saat ini diperlukan kebersamaan untuk saling menggali, menginventarisasi, mengkaji kembali nilai-nilai Silat Minang itu sehingga diharapkan sebuah format baru yang sesuai dengan ketradisiannya, untuk kesinambungan keberadaan corak, gaya, dan kreatfitas Silat Minang dapat ditemukan. Sehingga generasi sekarang tidak lagi kecewa, antara hebatnya cerita masa lalu dengan kenyataan hari ini yang didapatinya. (*)