Sungguahpun bak pimpiang di lereang
kumari condong dipupuik ribuik
Walaupun kumari tagendeang
pungkam tunggua pantang tabubuik
Sekarang, yang beralih itu adalah zamannya, yang bertukar itu adalah lembaganya, lembaga adatnya, lembaga pendidikannya, lembaga tapiannya, lembaga pamedanannya, lembaga sasarannya, namun esensi dasar pendidikan dan pengajaran, berkenaan dengan ilmu pengetahuannya sebenarnya tidaklah berubah, yaitu lembaga diri manusia itu sendiri yang selalu terlupa, dan memang lupa dan dilupakan. Manusia selalu lupa dengan dirinya sendiri. Manusia selalu lupa dengan lembaga dan atribut-atribut yang membentuk dan menyempurnakan dirinya, dan akan menjadi kasak kusuk ketika cobaan datang menyerang dirinya.
Pemikiran-pemikiran yang timbul dalam suatu pengembaraan yang panjang di alam minangkabau ini, masa dahulunya bersumber dari berbagai fenomena alam yang tampak dan alam yang tidak tampak, namun bisa dirasakan. Seperti waktu mereka terpesona akan keindahan alam yang ada di sekeliling mereka, atau ketakutan yang amat sangat ketika kakinya terpeleset di tepi sebuah jurang, yang salah-salah bisa mecelakakan dirinya, jatuh ke dasar jurang yang amat dalam. Menghayati peristiwa alam yang dilalui, dialami dan dirasakan ini yang tadinya dianggap sebagai sebuah peristiwa biasa, berbalik menjadi suatu kesan yang melekat dalam ingatan mereka, yang secara positif dapat diarahkannya menjadi rambu-rambu peringatan di sepanjang garis perjalanan kehidupannya dalam alam. Rambu-Rambu ini kemudian berkembang menjadi falsafah hidup yang murni, melekat dalam ingatan manusianya. Falsafah hidup yang murni adalah falsafah tua yang disusun dan ditemukan oleh para perenung dan pemikir yang mengabdikan dirinya tanpa pamrih, dan mempersembahkan hasilnya untuk Sang Penguasa Kehidupan itu sendiri, sebagai amal ibadah yang makruf. Ketuaan filosofinya sama dengan ketuaan alam itu sendiri, dan membuktikan pula ketuaan adat yang dipakainya. Ketuaan adatnya membuktikan ketinggian nilai-nilainya.
Falsafah Adat Alam Minangkabau tidak akan membuahkan apa-apa bila tidak didasarkan kepada pengetahuannya yang hakiki, pengetahuan Nan Bana sepanjang adat. Sandaran utama dari falsafah itu adalah ilmu pengetahuan yang hak, ilmu yang benar dalam alam.
Meskipun yang dibicarakan ini hanya mengenai Pencak silat tradisi Minangkabau dan falsafahnya, tetapi karena Pencak silat Tradisi Minangkabau itu merupakan sumber utama dari bentuk-bentuk kreatifitas kesenian Minangkabau bahkan merupakan salah satu media tempat berkembang dan turunnya Adat Alam Minangkabau itu sendiri, karena yang dinamakan adat itu lakek di badan, indak carito kaba do! Media Tari, Media Pencak, Media Silat, diikat (ikek, kabek) dalam Media Adat, dan itu adalah Batang Tubuh diri sendiri. Tari, Pencak, dan Silat haruslah dalam Kabek Adat, dalam Ikatan Budaya sendiri, bukan budaya dunia luar! Ungkapan adat : dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang, adalah sikap moral yang utama dalam kehidupan berbudaya.
Filosofi Adat Alam Minangkabau adalah bulat, kuat, kenyal dan kokoh yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam satu kesatuan. Maka setiap pembicaraan konsep pemikiran, dan aturan teknis pencak silat Tradisi Minangkabau tidak akan terlepas dari masa lah falsafah dan pemikiran Undang, dan Hukum-Hukum Adat Alam Minangkabau yang menaunginya, sementara esensinya berada dalam genggaman jari jemari filosofi silek Minangkabau yang Haq.
Unit kesatuan yang terkecil itu menjadi inti ajaran filosofi Silat minang secara utuh pula yang tak dapat dibagi-bagi. Ilmu Silat Minang memakai padi sebagai simbol ilmunya, yang disebut, bak umpamo ilimu padi, makin barisi makin runduak.