Penulis mencoba mengungkap hasil dari suatu observasi kegiatan terhadap kesenian anak nagari dan khususnya Pencak silat tradisi minangkabau, di sumatera barat ini. Observasi yang penulis lakukan merupakan sebuah pengalaman panjang, dalam berbagai kesempatan wawancara dan ota-ota lapeh, dengan guru-guru silek, Tuo-tuo silek, anak-anak sasian, pandeka-pandeka mudo, ninik mamak, alim ulama, cadiek pandai nagari, serta masyarakat nagari yang sempat penulis temui dan kunjungi langsung ke sasaran di nagari-nagarinya masing-masing.
Penemuan ini kemudian dibandingkan dengan keterlibatan penulis dengan iven-iven pencak silat di Gelanggang Pencak Silat, baik yang resmi diadakan oleh Pengda ipsi Sumatera Barat, seperti Gelanggang Silieh Baganti-IPSI Sumatera Barat, IPSI Cabang, maupun yang diadakan dalam rangka alek-alek nagari, di nagarinya masing-masing. Walau demikian luasnya, yang tak mungkin ditampung dan tak mampu pula untuk diuraikan secara keseluruhan, penulis berpegang pada petuah adat Minangkabau itu sendiri, yang mengatakan bahwa :
Kok dibalun sabalun kuku
kok dikambang saleba alam
Walau sagadang bijo labu
bumi jo langik ado di dalam
Pengenalan ini menjadi penting untuk membuahkan rasa cinta dan pendalaman terhadap warisan budaya bangsa, khususnya warisan budaya Minangkabau di Sumatera Barat. Kedalaman pengertian hanya bisa dijangkau apabila kita dapat menelusuri, memahami dan menghayati bentuk-bentuk penuangan budaya itu seperti diisyaratkan petuah adat : limbago ado tuangannyo, dalam berbagai aspek kehidupan yang tercermin dari tindak laku budaya masyarakat itu sendiri.
Apa yang tercakup dalam nilai-nilai seni, adat dan budaya tradisi Minangkabau itu, baik secara struktural maupun integral yang secara filosofis berbeda tuangannya, berbeda gaya, corak dan tatacara pelaksanaannya dari nilai-nilai budaya masyarat lainnya di dunia. Perbedaan mana menjadikan masyarakat Minangkabau terkenal sebagai suatu etnis yang unik dan khas. Karenanya adalah wajar, dan harus dalam adat, sesuatu yang unik dan khas itu tetap dipelihara, dikembangkan dan disosialisasikan kembali dengan baik, dalam rancangan disiplin disiplin baru yang sesuai, seperti melakukan rekonstruksi atau dekonstruksi budaya demi revitalisasi nya ke masa depan.
Sebuah replikasi rancangan yang matang dalam strategi pembinaan, dan pembentukan watak budaya generasi penerus secara berkesinam bungan sangatlah diperlukan zaman ini. Nilai-nilai budaya Minangkabau perlu mendapat model pakaian yang baru, format, atau patron yang baru untuk dijahit dengan benang-benang silaturahmi (ishlah) yang Hakiki. Format baju yang baru itu sesuai dengan zamannya, namun esensi baju tetaplah baju juga, karena akan dipakai sebagai pakaian penutup malu. Malu ditutup karena malu itu tampak. (bersambung )