Catatan Pementasan Teater Saf-Indonesiana 2018
Membaca “respons teatrikal terhadap silek”, tema yang diangkat dalam rangkaian silek arts festival (SAF)-Platform Indonesiana yang dilaksanakan pada 19-22 November 2018 di ISI padang panjang, menghadirkan 7 kelompok seni pertunjukan teater dari pelbagai kota di Indonesia, bagi saya sangat menarik
Oleh: Nasrul Azwar
(Jurnalis dan Presiden AKSI
Ketertarikan itu tak lepas—tentu bagi saya—tema yang ditetapkan memiliki konsekuensi langsung terhadap bentuk garapan karya seni (teater) yang dipanggungkan. Bagaimana bentuk respons sutradara terhadap silek (silat)—yang merupakan kekayaan kultural masyarakat di Nusantara ini—pada karya yang dihadirkannya di atas pentas?
Ada 7 kelompok seni yang hadir dari pelbagai kota di Indonesia dalam iven yang diinisiasi Direktur Jenderal kebudayaan Kemendikbud kerja sama dengan Dinas Kebudayaaan sumatera barat, didukung ISI padang Panjang serta dilaksanakan Komunitas Seni Hitam Putih ini. Enam kelompok teater mementaskan karyanya di Gedung Pertunjukan Hoeridjah Adam. Sedangkan satu lagi,Komunitas Seni Nan Tumpah memilih di Teater Arena ISI Padang Panjang.
Adapun 7 kelompok teater yang tampil di panggung SAF 2018 itu ialah Studio Taksu dari Solo, Teater Salembayung (Pekanbaru), Teater Potlot (Palembang), Payung Hitam (Bandung), Indonesia Performance Sindydicate (Padang Panjang), Teater Satu (Lampung), dan Komunitas Seni Nan Tumpah (KSNT) dari Padang Pariaman.
Dari 7 kelompok itu, saya menonton hanya 5 pementasan, minus Teater Satu dan komunitas Seni Nan Tumpah. Kendati saya sebelumnya sudah menyaksikan “Alam Takambang Jadi Batu” repertoar yang dibawa KSNT tapi setiap peristiwa teater tentu berbeda tafsir dan nilai estetisnya. Maka saya menganggap, saya tidak menontonnya.
“Respons teatrikal terhadap silek” tentu saja dikesankan menghasilkan karya seni (teater) yang terinternalisasi dari hasil pencarian-pencarian saat proses kreatif garapan berjalan. Pementasan di atas panggung merupakan kerja finalisasi atau sebaliknya, dari banyak proses interaktif, diskusi panjang, bongkar pasang wujud penanda dan tanda semiotik, dan seterusnya, yang diramu dalam wujud tunggal menjadi teks panggung.
Teks panggung atau pertunjukan membuka kemungkinan besar ia berasal dari teks lisan,
tulisan, atau teks abstrak. Di sana tentu sedang berlangsung atau sudah berlangsung proses migrasi estetika dari teks konvensional ke teks peristiwa teater yang juga membuka varian yang jamak dan kaya dengan makna semiotik dibanding sebelum ia diusung ke atas pentas alias masih berupa teks konvensional tadi.
Pun, tak menutup malah muncul sebaliknya: Teks pertunjukan miskin makna intrinsik dan ekstrinsik, serta takmemberi pengayaan tafsir dan interprestasi tanda dan penanda saat peristiwa teater berlangsung.
Terkait dengan proses migrasi estetika, Benny Yohanes (2016) dalam buku Kreativitas Teater: dari Teks ke Pemanggungan mengatakan, estetika migrasi adalah bentuk pencarian dan cara mewujudkan nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik pertunjukan teater yang dihasilkan dari kesinambungan proses migrasi senimannya.
Benny lebih jauh mengatakan, migrasi itu meliputi migrasi fisik, epistemik, estetik, dan
identitas. Migrasi fisik ialah perpindahan latar sosial seniman yang merupakan sebagai upaya memperluas dan memperkaya pengalamannya untuk berkarya. Sedangkan migrasi epistemik adalah perpindahan pandangan dunia seorang seniman sebagai upaya rekonstruksi terhadap tujuan dan makna berkarya.
Nah, lalu bagaimana dengan pertunjukanteater pada SAF 2018?
Halaman Selanjutnya