Para tuo silek mengatakan jiko mamancak di galanggang, kalau basilek di muko musuah (jika melakukan tarian pencak di gelanggang, sedangkan jika bersilat untuk menghadapi musuh). Oleh sebab itu para tuo silek (guru besar) jarang ada yang mau mempertontonkan keahlian mereka di depan umum bagaimana langkah-langkah mereka melumpuhkan musuh.
Oleh sebab itu, pada acara festival silat tradisi minangkabau, maka penonton akan kecewa jika mengharapkan dua guru besar (tuo silek) turun ke gelanggang memperlihatkan bagaimana mereka saling serang dan saling mempertahankan diri dengan gerakan yang mematikan.
Kedua tuo silek itu hanya melakukan mancak dan berupaya untuk tidak saling menyakiti lawan main mereka, karena menjatuhkan tuo silek lain di dalam acara akan memiliki dampak kurang bagus bagi tuo silek yang “kalah”. Dalam praktik sehari-hari, jika seorang guru silat ditanya apakah mereka bisa bersilat, mereka biasanya menjawab dengan halus, dan mengatakan bahwa mereka hanya bisa mancak (pencak), padahal sebenarnya mereka itu mengajarkan silek (silat).
Inilah sifat rendah hati ala masyarakat Nusantara, mereka berkata tidak meninggikan diri sendiri, biarlah kenyataan saja yang bicara. Jadi kata pencak dan silat akhirnya susah dibedakan. Saat ini setelah silek Minangkabau itu dipelajari oleh orang asing, mereka memperlihatkan kepada kita bagaimana serangan-serangan mematikan itu mereka lakukan.
Keengganan tuo silek ini dapat dipahami karena Indonesia telah dijajah oleh bangsa Belanda selama ratusan tahun, dan memperlihatkan kemampuan bertempur tentu saja tidak akan bisa diterima oleh bangsa penjajah pada masa dahulu, jelas ini membahayakan buat posisi mereka.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa silat itu berasal dari kata silek. Kata silek pun ada yang menganggap berasal dari siliek, atau si liat, karena demikian hebatnya berkelit dan licin seperti belut. Setiap nagari di Minangkabau memiliki tempat belajar silat atau dinamakan juga sasaran silek, dipimpin oleh guru yang dinamakan Tuo Silek. Tuo silek ini memiliki tangan kanan yang bertugas membantu beliau mengajari para pemula.
Orang yang mahir bermain silat dinamakan pandeka (pendekar). Gelar Pandeka pada zaman dahulunya dilewakan (dikukuhkan) secara adat oleh ninik mamak dari nagari yang bersangkutan. Namun pada zaman penjajahan, gelar itu dibekukan oleh pemerintah Belanda.
Setelah lebih dari seratus tahun dibekukan, masyarakat adat Koto Tangah, Kota padang akhirnya mengukuhkan kembali gelar Pandeka pada tahun 2000-an. Pandeka ini memiliki peranan sebagai parik paga dalam nagari (penjaga keamanan negeri), sehingga mereka dibutuhkan dalam menciptakan negeri yang aman dan tentram.
Pada 7 Januari 2009, H. Fauzi Bahar (kala itu menjabat Walikota Padang) digelari Pandeka Rajo Nan Sati oleh Niniak Mamak (Pemuka Adat) Koto Tangah, Kota Padang. Gelar itu diberikan sebagai penghormatan atas upaya beliau menggiatkan kembali aktivitas silek tradisional di kawasan Kota Padang, ia juga seorang pesilat handal pada masa mudanya, sehingga gelar itu layak diberikan.
(Disarikan dari berbagai sumber oleh miazuddin st marajo)