Lima Teater Merespons Silek dalam Tanda yang Bocor

0
420

Baromban dan Mitos Tambang
Indonesia Performance Syndicate (IPS) dari mementaskan “Baromban dan Mitos Tambang” yang disutradarai Wendy HS. “Baromban dan Mitos Tambang” teks tulisnya terinspirasi dari puisi Iyut Fitra ini, menurut Wendy HS yang sekaligus dramaturginya, dirancangan dengan konsep total bodyperformance.

Ini menetapkan titik tolak pada pengembangan konsep ( Martial Art) sebagai konsep ketubuhan untuk fokus pada totalitas tubuh sebagai sumber utama penciptaan kesatuan bebunyian, gegerakan dan lelakuan yang internal dari perangkat ketubuhan dalam pertunjukan.

“Baromban dan Mitor Tambang” terwujud hasil kolaborasi lintas disiplin tari dengan koreografer Emri Rangkayomulia dan musik dengan komposer Leva Khudri Balti merupakan upaya memformulasikan satu konsep penciptaan pertunjukan kontemporer sebagai wujud pengembangan elemen tapuak galembong dalam tradisi 4randai pada Minangkabau,' kata Wendy HS.

Konsep Total BodyPerformance ini menetapkan titik tolak pada pengembangan konsep – silek (Minangkabau Martial Art) sebagai konsep ketubuhan untuk fokus pada totalitas tubuh sebagai sumber utama penciptaan kesatuan bebunyian, gerakan dan lakuan yang internal dari perangkat ketubuhan dalam pertunjukan.

Kisah “Baromban dan Mitos Tambang” yang berdurasi 50 menit ini, merupakan presentasi apa yang ditulis dalam puisi “Baromban” karya Iyut Fitra dan untuk pengayaan dilakukan riset tentang buruknya kondisi ekonomi masyarakat sekitar daerah tambang serta ketidakberpihakan regulasi pertambangan kepada masyarakat.

Panggung “Baromban dan Mitos Tambang” yang dibungkus warna pokok biru-merah-hijau itu saya kira cukup disiplin menjaga ritme dramatik sehingga jalan cerita dan capaian plot tak mengalami masalah. Struktur cerita terjaga layaknya garapan teater dalam disiplin dramaturgi yang akademik.

Kendati, pada fase tententu terlihat dan terasa ada “kecelakaan” di atas pentas. Tapi, kecelakaan ini bisa dipahami bagi orang yang pernah melihat pementasan ini sebelumnya. Tak bisa berbunyi atau bunyi “fals” dari alat tiup yangdigunakan di atas pentas, salah satu contoh.

Selain itu, yang membuat pertunjukan “Baromban dan Mitos Tambang” jadi meleleh dalam jebakan media sosial saat meneriakkan “Masuk Pak Eko!” dan seterusnya. Akibat dari teriakan ini— saya tak tahu maksudnya apa—menjadikan 3 peristiwa panggung, yang direkonstruksi menjadi bocor dan merembes sebagai sebuah tek pertunjukan teater yang kebanyakan.

Seperti saya sebutkan di atas, 2 peristiwa teater pada malam terakhir dari rangkaian SAF 2018 tidak bisa saya apresiasi karena saya tak menontonnya. Saya kira pantas juga dikutipkan apa yang ditulis Roland Barthes, bahwa hahikat tanda teatrikal, apakah itu bersifat antologis, simbolis, atau konvensional—baik berupa pesan denotatif atau konotatif—semuanya merupakan masalah fundamental semiologi dalam dunia teater saat ini.

Pendapat ini diperkuat Tadeusz Kowzan dengan mengatakan, semua yang ada dalam presentasi teater adalah tanda. (Benny Yohanes: 2016).

Tulisan ini pernah terbit di halaman Cagak Harian Ekspres